Sajian Daging Pagpag, Menu Favorit Warga Miskin Filipina yang Terbuat dari Sampah..

Posted on

Kehidupan di kawasan kumuh Manila sangat sulit, di mana menyediakan makanan di atas meja adalah tantangan besar.

Untuk mengakalinya, banyak warga di ibu kota Filipina itu kerap menyantap daging sisa yang didaur ulang, dan umum dikenal dengan nama “pagpag”.

ini adalah istilah yang ditujukan pada makanan sisa, biasanya berupa daging yang diambil dari sampah restoran, untuk kemudian dicuci, dimasak dan dijual kembali ke masyarakat miskin di kawasan kumuh Manila. Bisa dibilang, ini adalah makanan utama mereka sehari-hari.

Sebagian besar konsumen pagpag berada pada posisi paling bawah dalam “strata masyarakat” Filipina, yang sering kali gagal memenuhi asupan hariannya. Oleh karenanya, sajian yang jauh dari higienis itu adalah altenatif pangan yang bisa disantap segera atau untuk nanti.

Dikutip dari situs Odditycentral.com pada Minggu (17/2/2019), pagpag kini menjadi bisnis yang menguntungkan di tengah komunitas warga miskin Manila, karena seringkali pedagangnya membeli bahan baku daging sisa dengan harga murah dari pengepul.

Daging sisa dikumpulkan oleh pengepul dari para pemulung yang mengais tumpukan makanan sisa atau produk pangan kedaluwarsa, yang diambil di jaringan restoran cepat saji dan supermarket di ibu kota Filipina.

Tidak jarang, para pemulung ini mengais makanan di tengah “lalu lalang” kucing dan tikus liar, lalu membungkusnya dalam kantong plastik dan dibawa ke pengepul.

Satu kantong plastik daging pagpag biasanya dijual seharga 20 peso (sekitar Rp 14.000), yang bisa dimasak menjadi beberapa porsi hidangan murah seharga rata-rata 10 peso (sekitar Rp 7.354) per porsi.

Cara memasaknya pun jauh dari standar sehat, di mana daging sisa dicuci berkali-kali dengan alasan “menghilangkan kotoran yang melekat” ketika diambil dari tumpukan sampah.

Yuk baca:  Dianggap Terlalu Hemat, Suami Minta Sandra Dewi Lebih Banyak belanja.. Netizen Semoga Dapat Suami begini

Setelah tulang-tulangnya dibuang, daging sisa itu kemudian dicampur beragam bumbu, sayur, dan saus hingga menjadi hidangan baru yang dijajakan di warung makan kumuh.

“Dengan kondisi hidup yang kami jalani sekarang, ini (pagpag) sangat membantu. Ketika Anda membeli seporsi besar dalam beberapa peso, Anda sudah dapat memberi makan satu keluarga,” kata salah seorang konsumen.

Pagpag dulunya merupakan pilihan terakhir bagi sebagian besar penghuni kawasan kumuh di sekitar Manila, sesuatu yang hanya akan mereka makan pada hari-hari terburuk, ketika tidak mendapatkan cukup uang untuk membeli sedikit beras.

Tetapi, dengan inflasi yang terus meningkat, membuat banyak orang semakin sulit untuk membeli makanan yang layak, sehingga pagpag pun menjadi alternatif santapan sehari-hari.

Meski sebagian telah dikonsumsi oleh orang lain, namun banyak konsumen pagpag meyakini bahwa daging bekas itu aman dikonsumsi karena telah dicuci sebelum kembali dimasak.

Beberapa konsumen lain bahkan menyebutnya enak dan bergizi, tetapi otoritas kesehatan di Filipina menganggapnya sebagai risiko kesehatan yang mengkhawatirkan.

Kadang-kadang daging sisa disemprot dengan desinfektan sebelum dibuang, dan di lain waktu, bahan baku tersebut menjadi penuh dengan patogen berbahaya seperti salmonella, karena disimpan dalam kondisi yang tidak layak dalam waktu lama.

Salome Degollacion, seorang tetua di Helping Land, salah satu wilayah kumuh terbesar di Manila, mengatakan kepada CNN bahwa banyak orang meninggal karena menyantap pagpag.

“Tetapi ketika Anda tidak punya pilihan lain, saya kira risikonya layak untuk diambil,” ujar Degollacion.

Sementara itu, menurut Melissa Alipalo, seorang ahli pembangunan sosial, terdapat sebuah gengsi di benak masyarakat Filipina, bahwa sesulit apapun hidup mereka, pantang untuk terus menerus makan dari piring pemberian orang lain.

Yuk baca:  Sudah Nggak Tahan Istri Minta Cerai Gara Gara Malu Suaminya Mandi 10 Hari Sekali

“Namun, karena kondisi ekonomi mereka tidak kunjung membaik, maka pagpag adalah pilihan terbaik untuk bertahan hidup sekaligus menyingkirkan diri dari kebiasaan meminta-minta,” jelas Alipalo.